Pemerintah melalui
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertekad mengurangi volume sampah
yang ada di lingkungan masyarakat. Hal tersebut dilakukan dengan mengeluarkan
kebijakan kantong plastik berbayar dan pembatasan penggunaan kantong plastik di
pasar-pasar modern di Indonesia. Konsumen tempat perbelanjaan, baik pasar
swalayan maupun minimarket kini tidak lagi mendapatkan kantong plastik atau tas
kresek secara gratis untuk membawa barang belanjaan.
Kebijakan pemerintah ini
telah resmi diberlakukan sejak 21 Februari 2015. Sementara ini, per kantong plastik dihargai Rp 200.
Namun, tidak menutup kemungkinan harga plastik meningkat di kemudian hari. Kepala
Seksi Bina Peretail Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Supriyanto mengatakan, harga kantong
plastik saat ini merupakan hasil diskusi pemerintah dan retail. Namun,
sebenarnya harga itu belum tentu membuat orang tidak mau membeli
plastik.
Menurut Prof. Ir. Agoes Soegianto,
DEA, selaku dosen di Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, kebijakan plastik berbayar belum dirasa tepat. Cara paling efektif
menekan jumlah limbah plastik adalah dengan memperbaiki proses pengolahannya. “Seperti
kita tahu, pemisahan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) masih belum
dilakukan. Ini murni tanggungjawab pemerintah yang harus mengurusnya. Tidak
dengan cara membebankan pada masyarakat untuk menekan peredaran plastik,” jelas
Prof. Agoes ketika ditemui ruangannya.
Ketua Umum Kadin
Indonesia Rosan Roeslani mengungkapkan, kebijakan tersebut seharusnya
dikomunikasikan secara luas dan masif kepada masyarakat Indonesia. Sebab ini
menyangkut menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa kantong plastik berbayar
bertujuan membawa kebaikan bagi lingkungan. "Kebijakan ini harus juga
mendapat masukan sebelum ditetapkan. Tapi menurut saya diimbau saja, jangan
dijadikan satu keharusan, jangan dipaksakan," ujar dia.
Rosan juga menyatakan
keberatan dengan penetapan harga kantong plastik berbayar yang dikenakan
masing-masing daerah. Sebagai contoh, penetapan kantong plastik berbayar di DKI
Jakarta sebesar Rp 5.000 per buah.
Namun, pada sisi lain,
YLKI(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) menyatakan bahwa kebijakan plastik
berbayar pada sektor ritel modern itu merupakan hal yang rasional. Menurut
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, peraturan itu rasional karena
diberlakukan demi menjaga dan mengurangi tingkat kerusakan lingkungan yang
lebih parah, mengingat konsumsi kantong plastik di Indonesia tergolong tinggi,
yaitu 9,8 miliar kantong plastik per tahunnya, atau nomor dua di dunia setelah
Tiongkok.
Dengan adanya kebijakan plastik berbayar, diharapkan ada perubahan perilaku konsumen saat berbelanja di pasar modern, misalnya membawa bungkus/wadah atau tas sendiri saat berbelanja serta tidak meminta bungkus plastik secara berlebihan.
Pemerintah Kota Surabaya menyatakan siap mendukung kebijakan pemerintah pusat itu, untuk mengurangi jumlah sampah plastik yang mencapai 30 persen dari seluruh volume sampah di Kota Surabaya. Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, Musdiq Ali Suhudi mengatakan, implementasi kebijakan untuk mengurangi penggunaan kantong plastik akan didukung, dengan Peraturan Walikota maupun Peraturan Daerah.
Dengan adanya kebijakan plastik berbayar, diharapkan ada perubahan perilaku konsumen saat berbelanja di pasar modern, misalnya membawa bungkus/wadah atau tas sendiri saat berbelanja serta tidak meminta bungkus plastik secara berlebihan.
Pemerintah Kota Surabaya menyatakan siap mendukung kebijakan pemerintah pusat itu, untuk mengurangi jumlah sampah plastik yang mencapai 30 persen dari seluruh volume sampah di Kota Surabaya. Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, Musdiq Ali Suhudi mengatakan, implementasi kebijakan untuk mengurangi penggunaan kantong plastik akan didukung, dengan Peraturan Walikota maupun Peraturan Daerah.
Koordinator Komunitas Nol
Sampah, Hermawan Some mengatakan, penerapan aturan pembatasan penggunaan
kantong plastik diyakini akan efektif mengurangi volume sampah di suatu kota
hingga 70 persen.
Hermawan menegaskan,
pengusaha pasar modern dapat terkena sanksi bila mengabaikan kebijakan itu,
karena tidak mendukung upaya pemerintah mengatasi persoalan sampah
sangat menarik
BalasHapus